1. Menyebutkan 2 tipe Masyarakat
-teori:
Diskusi hukum secara sosiologis dalam masyarakat umumnya didasarkan pada salah satu dari dua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat, yaitu pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) dan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif).
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) menggambarkan masyarakat yang terintegrasi secara fungsional dan relatif memiliki sistem yang stabil. Sistem tersebut diadakan dan dibuat secara bersama dan didasarkan pada suatu kesepakatan atau konsensus dasar atas nilai-nilai. Ketertiban sosial (social order) merupakan hal yang relatif permanen dan para individu dapat meraih kepentingan-kepentingan mereka melalui kerjasama.
Pandangan ini memandang konflik sosial sebagai upaya perjuangan tidak diperlukan bagi para individu dan kelompok yang belum memperoleh pemahaman yang cukup tentang kepentingan bersama dan saling ketergantungan secara mendasar.
Pandangan ini justeru menekankan pada rasa kepaduan (cohesion), rasa solidaritas, rasa kesatuan (integration), sikap kerjasama (cooperation) dan stabilitas masyarakat, yang dilihat sebagai budaya berbagi dan kesepakatan pada nilai-nilai dan norma-norma yang fundamental.
Sedangkan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif) bertolak belakang dengan pandangan konsensus integrasi (integration-consensus). Pandangan ini mencirikan masyarakat yang terdiri dari para individu dan kelompok ini dengan munculnya konflik dan perbedaan yang diadakan bersama secara paksaan.
Dalam pandangan ini, ketertiban merupakan ketidakstabilan dan hanya bersifat sementara (temporary). Hal ini disebabkan karena setiap individu-individu dan kelompok-kelompok berupaya untuk memaksimalkan pencapaian kepentingannya masing-masing dalam dunia yang memiliki keterbatasan sumber daya dan berbagai jenis barang.
Pandangan ini juga memandang konflik sosial (social conflict) sebagai tindakan intrinsik terhadap interaksi antara para individu dan kelompok. Selanjutnya dalam pandangan ini, untuk mempertahankan dan memelihara kekuasaan diperlukan dorongan (inducement) dan paksaan (coersion). Oleh karenanya, hukum merupakan alat penekan/represif (instrument of repression) sehingga kepentingan-kepentingan kekuasaan mampu dipertahankan sebagai alternatif kepentingan-kepentingan, norma-norma dan nilai-nilai.
Hal pokok terkait kedua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat diatas, menurut pendapat Ralf Dahrendorf adalah bahwa tidak mungkin dalam kenyataan (empirical) memilih salah satu dari dua pandangan tersebut, baik stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan disfungsi, konsensus dan pembatasan, keseluruhannya hanyalah imajinasi dari suatu masyarakat (1958: 174-175). Maka pada saat hukum dipandang dari salah satu pandangan diatas, tidaklah mengherankan, memunculkan peranan hukum yang berbeda.
PANDANGAN KONSENSUS INTEGRASI
(Integration-Consensus Perspective)
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) ini melihat hukum sebagai suatu kerangka kerja yang netral (a neutral framework) untuk mempertahankan dan memelihara integrasi masyarakat. Salah satu sarjana terkemuka dan paling berpengaruh adalah Roscoe Pound (1943-1959). Menurut Pound, masyarakat sebagai keragaman kelompok yang kepentingan-kepentingannya seringkali bertentangan satu sama lain, tetapi pada dasarnya berjalan secara harmonis.
Roscoe Pound memandang berbagai kepentingan merupakan unsur pokok bagi keberadaan masyarakat dan mempertahankan bahwa rekonsiliasi antara kepentingan yang bertentangan dari keberagaman kelompok dalam masyarakat adalah penting untuk melindungi dan memelihara ketertiban sosial (social order).
Dengan kata lain menurut pendapat Pound, hukum adalah upaya untuk meraih kepuasan, rekonsiliasi, harmonisasi, penyesuaian terhadap berbagai pertentangan tuntutan dan permintaan, bahkan memberikan perlindungan secara langsung dan segera, atau memberikan jaminan perlindungan atas berbagai kepentingan individu, sehingga memberikan dampak luas bagi kepentingan warga masyarakat dengan pengorbanan yang minimal pada berbagai kepentingan tersebut secara keseluruhan. (Pound, 1943: 39)
Dalam pandangan Pound, hukum dalam masyarakat yang heteronom dan pluralistik, sebagaimana di Amerika Serikat, memerlukan pemahaman yang baik sebagai upaya kompromi masyarakat dengan menekankan pada ketertiban sosial dan harmonisasi. Pound memberikan argumentasi bahwa dalam sejarah pembangunan hukum telah menunjukkan suatu pengakuan terhadap pertumbuhan dan kepuasan kebutuhan manusia, tuntutan dan keinginan melalui hukum.
Pada masa lampau, hukum lebih memusatkan perhatiannya dengan memenuhi berbagai spektrum kebutuhan manusia. Hukum benar-benar mewujudkan keinginan masyarakat dan mendatangkan kepuasan bagi kebutuhan masyarakat (Pound, 1959: 47).
Selanjutnya, Roscoe Pound juga memandang hukum sebagai bentuk “perubahan sosial” (social engineering) yang diarahkan untuk mewujudkan keharmonisan masyarakat. Pound berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mempertahankan dan memastikan esensi nilai-nilai dan kebutuhan terhadap ketertiban sosial (social order), tidak dengan memaksa keinginan suatu kelompok kepada kelompok lainnya, akan tetapi dengan melakukan pengawasan (controlling), rekonsiliasi dan mediasi terhadap keberagaman dan pertentangan kepentingan antara para individu dan kelompok masyarakat. Singkatnya, tujuan hukum adalah untuk mengawasi berbagai kepentingan dan mempertahankan atau memelihara keharmonisan dan integrasi masyarakat.
Talcott Parsons (1962: 58) berpendapat bahwa “...fungsi utama sistem hukum adalah integritas. Untuk menyederhanakan pertentangan elemen-elemen yang berpotesi dan untuk memudahkan metode-metode atau alat-alat komunikasi sosial.
Sosiolog lainnya adalah Harry C. Bredemeier (1962) yang menerima pandangan ini dan meyakini bahwa perlunya masyarakat untuk menambah mekanisme informal dengan mekanisme formal dalam mewujudkan dan menciptakan kerjasama antar individu. Hukum sebagai suatu badan peraturan perundang-undangan (body of rules) yang dibentuk oleh perwakilan dari masyarakat untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat itu sendiri.
Hukum pada pokoknya merupakan lembaga netral (a neutral agent), menyediakan penghargaan (rewards) dan hukuman (punishment) tanpa penyimpangan. Asumsi dasar pandangan ini ialah bahwa sistem politik adalah pluralistik; yang tersusun atas beberapa kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan yang seimbang.
Hukum merefleksikan kompromi dan konsensus antara beragamnya kepentingan kelompok-kelompok dan nilai-nilai fundamental demi terwujudnya ketertiban sosial (Chambliss, 1976 : 4).
PANDANGAN KONFLIK PAKSAAN
(Conflict-Coercion Perspective)
Berbeda dengan pandangan Konsensus Integrasi, pandangan Konsensus Konflik melihat hukum sebagai “senjata dalam konflik sosial” (Turk 1978) dan sebagai suatu instrumen tekanan ”yang dipimpin oleh kelompok yang sedang berkuasa demi kepentingan mereka” (Chambliss dan Seidman, 1982:36).
Menurut pandangan ini, transformasi masyarakat yang kecil, relatif homogen menjadi jaringan kelompok dengan kekhususannya merupakan evolusi dari kedua keinginan dan kepentingan antar kelompok. Jika terjadi konflik, mereka bersaing agar kepentingannya dilindungi dan dituangkan secara formal dalam bentuk undang-undang (hukum).
Richard Quinney menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu alat pengontrol dari kepentingan-kepentingan yang ada melainkan sebagai ekspresi dari berbagai kepentingan tersebut. Pertama, Quinney berpendapat bahwa masyarakat dibentuk oleh keragaman, konflik, paksaan, dan perubahan, bukan dibentuk oleh konsensus dan stabilitas.
Kedua, hukum adalah hasil dari pelaksanaan kepentingan-kepentingan yang berfungsi diluar kepentingan tertentu. Meskipun hukum dapat mengontrol kepentingan, namun hukum sejak awal diciptakan oleh kepentingan orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu; tidak jarang merupakan produk dari seluruh masyarakat. Hukum dibuat oleh manusia, mewakili kepentingan khusus, yang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan kepentingan mereka ke dalam kebijakan publik. Tidak sama seperti konsepsi politik yang plural, hukum tidak mewakili kompromi dari kepentingan masyarakat yang beragam, akan tetapi mendukung beberapa kepentingan lainnya (1970:35).
Pendukung Pandangan Konflik-Paksaan meyakini hukum sebagai alat dimana penguasa menjalankan kontrolnya. Hukum melindungi pemilik kekuasaan dan juga untuk menekan ancaman politik terhadap posisi elit.
Namun para advokat memiliki pandangan sebaliknya. Tidak semua hukum itu diciptakan dan dilaksanakan demi keuntungan para penguasa semata dimasyarakat. Hukum melarang pembunuhan, perampokan, kerusuhan, hubungan sedarah (incest), dan penyerangan. Dimana kesemuanya ini menguntungkan seluruh anggota masyarakat, terlepas dari posisi ekonomi mereka. Sehingga hukum itu sebenarnya lebih luas daripada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa penguasa mendikte isi hukum dan penegakannya hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
Kedua pandangan tersebut mengandung kebenaran. Hukum dapat merefleksikan kepentingan tertentu dari pihak penguasa dan pihak yang memiliki pengaruh di masyarakat.http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/tipe-tipe-masyarakat-model
2. Menyebutkan ciri -ciri Masyarakat Kota
- Teori :
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :
i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
3. Menyebutkan Perbedaan antara desa dan kota.
- Teori :
Masyarakat Pedesaan :
1.Perilaku homogen
2.Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3.Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
4.Isolasi sosial, sehingga statik
5.Kesatuan dan keutuhan kultural
6.Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7.Kolektivisme
Masyarakat kota
1.Perilaku heterogen
2.Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3.Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4.Mobilitas sosial, sehingga dinamik
5.Kebauran dan diversifikasi kultural
6.Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular
7. Individualisme
aisriska.files.wordpress.com/2007/02/makalah-isd-finish.doc - Mirip
-studi kasus :
Angka urbanisasi di Kota Bogor mencapai 8,8% dari jumlah penduduk yang kini hampir mencapai 1 Juta penduduk. Kondisi ini menyebabkan permasalahan terutama soal pengangguran dan kemiskinan. Hal ini diakui Walikota Bogor, Diani Budiarto, dalam Briefing Staff di Ruang Rapat III Balaikota yang dihadiri pimpinan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) dilingkungan Pemkot Bogor Selasa, (20/4/2010)
Sebenarnya, kata Diani, istilah urbanisasi bisa disebut proses menjadi kota, yang bisa berarti daerah pedesaan yang berkembang pada akhirnya menunjukkan ciri-ciri kota.
Menurut Diani, urbanisasi juga bisa diartikan sebagai proses yang dialami manusia dari kehidupan agraris pedesaan menuju kehidupan industri perkotaan, Tetapi rupanya istilah urbanisasi sudah banyak dimengerti masyarakat sebagai proses berpindahnya masyarakat dari desa ke kota atau bisa disebut dengan rural to urban migration, ungkapnya.
Diakuinya, besarnya angka urbanisasi menjadi kendala dalam kependudukan. Pasalnya tidak semua pendatang adalah calon warga produktif dan bisa saja malah menjadi beban bagi Pemerintahan Kota Bogor. Hal ini disebabkan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim atau bahkan menganggur sama sekali. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Menyikapi masalah pengangguran, Diani Budiarto menyebutkan disamping urbanisasi terdapat tiga faktor yang menyebabkan permasalahan yang terus berkepanjangan.
“Pertama, pasar kerja yang tidak sesuai dengan pencari kerja. Kedua, tersedianya lapangan kerja yang sesuai potensi tapi tidak sesuai dengan minat pencari kerja. terakhir, tidak terdapatnya lapangan kerja karena keterbatasan potensi pencari kerja,” urai Diani Budiarto.
Namun, lanjutnya, urbanisasi bukannya tidak memiliki dampak positif. Beberapa faktor dapat ikut terdorong peningkatannya lewat pergerakan penduduk ini, antara lain meningkatnya aktifitas perekonomian kota. Kota bertambah ramai, perdagangan semakin meningkat sehingga kehidupan di kota semakin berkembang dengan banyaknya pendatang-pendatang baru dari luar kota.
Walikota Diani Budiarto mengatakan, persoalan urbanisasi merupakan masalah bersama. Beberapa dampak positif, khususnya dalam konteks ekonomi dapat terus dioptimalisasikan. Namun, dampak-dampak negatif yang muncul sudah semestinya menjadi perhatian serius. Apalagi, jika menyangkut masalah pengangguran dan kaum miskin kota. Makanya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih responsif dalam menangani masalah ini tanpa diskriminasi. (diki)
http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5752&Itemid=101
-opini :
inilah salah satu banyaknya pengangguran, penduduk desa yang yang tergiur pergi ke kota, padahal mereka tudak tau bagaimana kehidupan di kota terutama ciri - ciri dari penduduknya, mereka yang tidak bisa beradaptsi sebagaimana kehidupan mereka di pedesaan terpuruk pada pengangguran.
Minggu, 14 November 2010
Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan
Diposting oleh Emellika Rahmayana di 04.52
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar