THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 27 September 2010

ISD sebagai salah satu MKDU

1. Menjelaskan tujuan pendidikan umum di Perguruan Tinggi
- Teori :
Tujuan pendidikan umum di perguruan tinggi adalah :
1.Sebagai usaha membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu
berperan sebgai anggota masyarakat dan bangsa serta agama
2.Untuk menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap masalah-masalah dan
kenyataan-kenyataan sosial yagn timbul di dalam masayrakat Indonesia
3.Memberikan pengetahuan dasar kepada mahasiswa agar mereka mampu
berpikir secara interdisipliner, dan mampu memahami pikiran para ahli
berbagai ilmu pengetahuan, sehinggadengandemikian memudahkan mereka
berkomunikasi

- Studi Kasus :
beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).

4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.


6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/

- Opini :
Pentingnya pendidikan umum di Perguruan Tinggi untuk membantu mahasiswa memahami masalah - masalah sosial dan dunia kerja. Diharapkan Pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama demi terciptanya tujuan tersebut.

2. Menjelaskan 3 kemampuan yang diharapkan dihasilkan dari lulusan pendidikan tinggi
- Teori :
a. kemampuan personal (kemampuan kepribadian)
dengan kemampuan ini tenaga ahli diharaphan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, mengenal dan memahami nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan,kenegaraan (pancasila) serta memiliki pandangan luas serta kepekaan terhadap berbagai masaah yang dihadapi masyarakat Indonesia.

b. kemampuan akademik
adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah, baik lisan maupun tertulis, menguasai peralatan analisa, mampu berpikir logis, kritis, sistematis dan analitis. Memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi serta mampu menawarkan altematif pemecahannya.

c. kemampuan professional
adalah kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.

- Studi Kasus:
Banyaknya pengangguran di Indonesia
Dipilih oleh Suara Terbanyak
kurangnya sumber daya manusia,kurang nya mutu pendidikan,kurangnya sarana dan prasarana pendidikan,yang harus di lakukan pemerintah saat ini untuk meningkatkan mutu anak bangsa adalah:
1. melakukan pendidikan nasional secara terpadu
2, memperluas pendidikan di luar sekolah
3. meningkatkan pertumbuhan,peranan dan mutu pendidikan
4. menungkatkan muru di semua jenjang pendidikan yang mengacu pada iptek
5. meningkatkan,memperluas pendidikan,pengajaran serta pembinaan guru serta tenaga pendidik lainnya secara terpadu
6. menyempurnakan,meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan termsuk jumlah dan mutu pendidikan
7. mengembangkan budaya keilmuan sedini mungkin secara berkelanjutan dan berkesinambungan di kalangan masyarakat
8. menciptakan msyarakat yang maju dan sejahtera melalui pembangunan iptek

itu yang membuat indonesia memiliki jumlah pengangguran terbanyak.http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100723190927AAc6rDx

- Opini :
Ketiga kemampuan tersebut sangatlah penting dan saling berhubungan untuk mencapai masa depan yang telah di bangun di Perguruan Tinggi, agar jumlah pengangguran tak semakin meningkat.

3. Menjelaskan Latarbelakang diberikannya ISD
- Teori :
Banyaknya kritik sistem pendidikan di perguruan tinggi oleh para cendekiawan. Mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan yang berlangsung masih berbau kolonial dan merupakan warisan sistem pendidikan pemerintah Belanda yaitu kelanjutan dari politik “balas budi / etische politick” (oleh Conrad Theodore van Deventer) sistem pendidikan tersebut bertujuan menghasilkan tenaga terampil untuk menjadi “tukang” yang mengisi birokrasi mereka dibidang administrasi, perdagangan, tehnik dan keahlian lain dalam tujuan eksploitasi (pemerasan) kekayaan negara.

- Studi Kasus :
Mengapa Diberikan Ilmu Sosial Dasar??

Diberikannya Ilmu Sosial Dasar (ISD) dimulai dari banyaknya kritik-kritik yang ditujukan pada sistem pendidikan di Perguruan tinggi oleh sejumlah cendikiawan terutama sarjana pendidikan, sosial dan kebudayaan. Mereka menganggap sistem pendidikan yang tengah berlangsung saat ini, berbau kolonial dan masih merupakan warisan sistem pendidikan pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan dari “ Politik Balas Budi “ ( etiche politiek ) yang dianjurkan oleh Conrad Theodore Van Deventer, bertujuan menghasilkan tenaga-tenaga trampil untuk menjadi “ tukang-tukang “ yang mengisi birokrasi mereka di bidang administrasi, pedagang, teknik dan keahlian lain dalam tujuan eksploitasi kekayaan negara.
Tenaga ahli yang dihasilkan oleh perguruan tinggi diharapkan memiliki tiga jenis kemampuan yang meliputi personal, akademik dan profesional.
Kemapuan personal adalah kemampuan kepribadian. Dengan kemapuan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga menunjukkan sikap, tingkah laku, dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia. Memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan (pancasila), serta memiliki pandangan luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Kemampan akademik adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah, baik lisan maupun tertulis, menguasai peralatan analisa, mampu berfikir logis, kritis sistematis, dan analitis. Memiliki kemampuan konsepsional untuk mengindetifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi serta mampu menawarkan alternatif pemecahannya.
Kemampuan profesional adalah kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dengan kemampan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang profesinya, agar jumlah penduduk yang besar ini benar-benar bisa menjadi modal pembangunan , sumber daya manusia yang dimiliki benar-benar sumber daya yang handal dan menjadi subyek untuk kemajuan peradaban damn memilki kesadaran untuk membangun negara dan bangsa.
-http://iwayanlukman.blogspot.com/2010/09/menjelaskan-tujuan-pendidikan-umum-di.html
-http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=28984:lulusan-perguruan-tinggi-perlu-identifikasi-kemampuan-diri&catid=56:edukasi&Itemid=63

- Opini :
Diderikannya ISD sangatlah penting apalagi di Perguruan Tinggi yang disiapkan untuk menghadapi dunia pekerjaan yang berkualitas.

4. Mahasiswa Dapat Menjelaskan Pengertian ISD
- Teori :
ISD adalah gabungan dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang dipergunakan dalam pendekatan dan pemecahan masalah – masalah sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. ISD memberikan dasar – dasar pengetahuan umum tertang konsep -konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial kepada mahasiswa, yang diharapkan cepat tanggap serta mampu menghadapi dan memberi alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan masyarakat.

- Study Kasus :
Kenapa Sistem Pendidikan di Indonesia Tidak dibuat Seperti Les Privat ?

Apakah anda pernah mengikuti pengalaman les Privat ?
Jika anda pernah ikut les privat seperti di Primagama atau Neutron atau tempat les privat yang lain, anda pasti akan menemukan sistem pengajaran yang sangat baik. Jika anda pernah mengikuti les privat misalnya pelajaran bahasa Inggris, disana banyak sekali tawaran dan jaminan bahwa hanya mengikuti les privat dalam waktu 1-3 bulan anda di jamin mahir berbahasa inggris aktiv. Begitu juga dalam les pelajaran-pelajaran yang lain seperti matematika dan lain-lain.
Bagaimana dengan sistem pengajaran di sekolah kita ???
Saya ambil kasus contoh misalnya dalam Pelajaran bahasa Inggris. Di Indonesia, saat ini sudah diwajibkan pelajaran bahasa Inggris diberikan pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Dari SD kemudian dilanjutkan sampai di tingkat SMP dan naik lagi hingga ke tingkat SMU dan Perguruan Tinggi, semuanya pasti ada mata pelajaran Bahasa Inggris. Tapi dari begitu lama dan banyak diberikan pelajaran bahasa Inggris dari SD hingga perguruan tinggi,
BAGAIMANA HASILNYA ??
Saya berani katakan hampir mayoritas mereka yang sudah mengikuti pelajaran bahasa Inggris dari SD sampai ke tingkat perguruan tinggi ketika hanya mengandalkan pelajaran-pelajaran di sekolah tanpa mengikuti les privat diluar sekolah, maka kemampuan mereka dalam mempelajari bahasa Inggris sangat minim, bahkan ketika saya ngobrol dengan banyak teman-teman saya yang sudah bergelar sarjana, mereka masih katakan BELUM BISA berbahasa Inggris dengan baik.
Ironis bukan ?
Kita belajar bahasa inggris dari SD hingga ke perguruan tinggi, ternyata tetap saja belum bisa mahir berbahasa Inggris, Tapi kita belajar Les Privat Bahasa Inggris DIJAMIN 1-3 Bulan saja sudah Mahir berbahasa Inggris.
Melalui tulisan ini saya sama sekali tidak bermaksud menyalahkan guru secara keseluruhan, tapi disini saya hanya ingin mengajak bahwa ada KEANEHAN dalam sistem dan MODEL mengajar di sekolah-sekolah.
Melihat kasus yang saya contohkan diatas, kenapa para guru kemudian tidak berfikir dan memiliki keinginan atau mencari tahu bagaimana sich cara dan metode mengajar di lembaga-lembaga Les Privat ? Kok mereka bisa mengajarkan bahasa Inggris begitu cepat kepada peserta les Privat ?
Apakah kemudian lagi-lagi para guru kita malas memberi pelajaran seeprti cara yang dilakukan para tutor-tutor di lembaga-lembaga les privat karena seorang guru hanya diberi GAJI KECIL ? jika ini alasanya, apakah berarti para pengajar di sekolah-sekolah itu lupa dengan GELAR MULYA mereka sebagai “PAHLAWAN TANPA TANDA JASA” ?
Untuk pemerintah dalam hal ini memang harus mencari solusi yang tepat lagi bijak. Tapi para guru dan pengajar juga jangan terlalu menilai pengabdian anda sebagai guru hanya dari segi materi. Karena toh walaupun gaji anda kecil, tapi jika anda dalam mengajarkan anak didik anda hanya menjadi anak yang bodoh tidakkah anda malu? Kenapa tidak kemudian anda berfikir walaupun dengan gaji yang minim tapi jika anda terus belajar bagaimana mengajarkan sebuah materi pelajaran yang simple, kreativ dan bisa mencerdaskan anak didik anda dengan lebih cepat dan kemudian siswa-siswi anda meraih banyak prestasi karena jasa anda, tidakkah itu akan jauh lebih membanggakan jika hanya dibandingkan dengan sebuah materi belaka ??
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan profesi guru di sekolah-sekolah, tapi hanya sebuah renungan pribadi saya yang prihatin bahwa saat ini semakin orang lebih menganggap bahwa untuk bisa pandai bahasa Inggris, Pandai matematika dan pelajaran-pelajaran yang lain seorang pelajar harus rajin les, privat dan mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Kalau sudah seperti itu, kemudian saya berfikir, UNTUK APA Pendidikan Sekolah ? Apakah hanya mengandalkan Legalitas Ijazah saja tanpa pernah berfikir bagaimana bisa memberikan sistem pendidikan yang berkwalitas melebihi les privat ???
http://aribicara.blogdetik.com/index.php/2010/07/16/kenapa-sistem-pendidikan-di-indonesia-tidak-dibuat-seperti-les-privat/
- Opini :
sangat penting karena dengan memahami pengertian ISD mahasiswa dapat cepat tanggap dalam pemecahan sosialdan ilmunya pun lebih berkualitas.
sumber: http://www.truetech.co.cc/2009/12/ilmu-sosial-dasar-isd-adalah-gabungan.html

Nama : Emellika Rahmayana
Kelas : 1KA26
NPM : 12110361