1. Menyebutkan 4 hal sikap yang ilmiah
-Teori:
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini perlu dibiasakan dalam berbagai forum ilmiah, misalnya dalam diskusi, seminar, loka karya, dan penulisan karya ilmiah
Sikap-sikap ilmiah yang dimaksud adalah sebagai berikut.
* Sikap ingin tahu. Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya. Mengapa demikian? Bagaimana caranya? Apa saja unsur-unsurnya? Dan seterusnya.
* Sikap kritis. Sikap kritis ini terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihan-kekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.
* Sikap terbuka. Sikap terbuka ini terlihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
* Sikap objektif. Sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan apa adanya, tanpa diikuti perasaan pribadi.
* Sikap rela menghargai karya orang lain. Sikap menghargai karya orang lain ini terlihat pada kebiasaan menyebutkan sumber secara jelas sekiranya pernyataan atau pendapat yang disampaikan memang berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain.
* Sikap berani mempertahankan kebenaran. Sikap ini menampak pada ketegaran membela fakta dan hasil temuan lapangan atau pengembangan walapun bertentangan atau tidak sesuai dengan teori atau dalil yang ada.
* Sikap menjangkau ke depan. Sikap ini dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi pengembangan bidang ilmunya.
Sikap ilmiah ini juga harus ada pada diri Anda ketika menyusun buku ilmiah. Kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan sikap ilmiah harus Anda buang jauh-jauh, misalnya sikap menonjolkan diri dan tidak menghargai pendapat orang lain, sikap ragu dan mudah putus asa, sikap skeptis dan tak acuh terhadap masalah yang dihadapi. http://menulisbukuilmiah.blogspot.com/2008/10/karya-tulis-ilmiah-ciri-dan-sikap.html
-studi kasus :
Saya meradang dan marah ketika membaca postingan teman-teman di kompasiana lalu kemudian di kompas.com dan detik.com. Dalam berita itu tertuliskan ada seorang profesor dari salah satu perguruan tinggi terkenal di Bandung diduga melakukan plagiat. Berita itu kemudian saya baca lagi di harian kompas cetak Rabu, 10 Februari 2010 dengan judul guru besar diduga menjiplak di SINI.
Sebagai seorang pendidik, saya pun terduduk diam. Sangat menyayangkan kejadian yang memalukan ini. Apalagi itu dilakukan oleh orang yang menurut teman saya sangat cerdas, karena di usianya yang masih muda sudah bergelar profesor, guru besar di perguruan tinggi.
Tapi apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Kita pun harus mengolah bubur itu agar enak dimakan dengan menambahkan daging ayam, kacang kedelai, kecap, bumbu kari, kerupuk, dan lain-lain sehingga bubur itu siap dihidangkan di meja makan dan mengundang selera makan.
Kasus plagiat bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan kita. Terkadang banyak orang melakukan proses “instan” dan tak mau bersusah payah menuliskan pemikirannya sendiri. Bagi saya, menulis adalah merekam jejak pemikiran saya. Oleh karenanya saya akan tahu kalau tulisan saya itu dijiplak oleh orang lain. Sebab pemikiran saya sangat orisinil dan tidak saya biarkan orang lain itu mengambil jejak pemikiran saya yang unik ini. (hehehehehe, GR!)
Jiplak menjiplak dalam dunia pendidikan kita relatif tinggi, hanya saja banyak orang yang tak begitu peduli dengan keadaan ini. Padahal sudah jelas, kalau kita menjiplak hasil karya orang lain, maka hukumannya adalah MALU. Kita akan menjadi malu dengan kelakuan kita sendiri yang tak jujur dengan apa yang dituliskan. Menjiplak hasil pemikiran orang lain dan seolah-olah itu adalah pemikiran kita. Bila itu anda lakukan, maka anda adalah seorang plagiat. Seorang yang tidak memiliki kreativitas dalam menulis. Membuata anda menggali kubur anad sendiri dan membuat orang menceritakannya dari mulut ke mulut. Kalau sudah begitu, berita itu akan sampai ke telinga anda dan menjadi malulah anda.
Bagaimana caranya agar kita tak dituduh plagiat? Mudah saja! Cantumkan nama orang yang kita ambil tulisannya dengan meletakkannya ke dalam footnote atau bodynote dalam artikel serta melampirkannya dalam daftar pustaka bila anda membuatnya dalam karya tulis ilmiah. Itupun, sebaiknya jangan 100 % anda ambil, tetapi sebagian saja kalimat yang penting.
Bila anda terlupa tak mencantumkan itu, maka anda bisa dikategorikan plagiat. Menjiplak hasil karya tulis orang lain yang anda ambil tanpa menuliskan nama si penulis. Rasanya tidak mungkin bila itu unsur kesengajaan, sebab ada etika dalam menulis karya tulis, apalagi karya tulis ilmiah yang sudah berbentuk jurnal ilmiah yang disebarkan melalui internet.
Berdasarkan kejadian memalukan yang menimpa seorang guru besar di atas, maka ada hikmah atau pembelajaran yang harus kita ambil. Jadikan ini sebagai pembelajaran nyata bahwa kreativitas menulis harus terus digalakkan dari anak masih belajar menulis hingga mampu menulis sehingga dia menjadi terbiasa menulis sendiri hasil karyanya. Ketika kreativitas menulis itu telah bersemayam dalam diri, maka pantang baginya untuk melakukan plagiarisme. Sebuah kegiatan jiplak menjiplak yang pada akhirnya tidak membuatnya menjadi orang yang pandai menulis.
Akhirnya, setelah membaca berita seorang guru besar diduga menjiplak, maka saya hanya ingin memperingatkan dan menyarankan kepada anda semua, “Awas!! Jangan jadi plagiat!!”. http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/10/awas-jangan-jadi-plagiat/
-opini :
salah satu sikap ilmiah adalah "bisa menghargai karya orang lain" janganlah menjadi plagiator, janganlah menjiplak karya orang lain dan megakuinya sebagai karya kita, bagaimana jika sebuah karya yang telah kita buat susah payah si klaim sebagai karya orang lain, tentu kita pasti akan sangat marah.
Senin, 22 November 2010
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan kemiskinan
Diposting oleh Emellika Rahmayana di 04.42 0 komentar
Minggu, 14 November 2010
Pertentangan Pertentangan Sosial & Integrasi Masyarakat
1.Kepentingan Individu untuk memperoleh harga diri
-Teori :
Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena ada dorongan untuk memenuhi individu itu sendiri. Jika individu berhasil dalam memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasa puas dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan ini akan banyak menimbullkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
Pada umumnya secara pskologis dikenal ada dua jenis kepentingan dalam diri individu, yaitu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial/pskologis. Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang individu yang sama persis didalam aspek pribadinya baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan tersebut secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor pembawaan dan lingkungan sosial sebagai komponen utama bagi terbentuknya keunikan individu. Perbedaan pembawaan akan memungkinkan perbedaan individu dalam hal kepentingannya, meskipun dengan lingkungan yang sama. Sebaliknya lingkungan yang berbeda akan memungkinkan timbulnya perbedaan individu dalam hal kepentingan meskipun pembawaannya sama
Perbedaan kpentingan itu antara lain berupa :
1. kepentingan indivdu untuk memperoleh kasih sayang
2. kepentingan indivdu untuk memperoleh harga diri
3. kepentingan individu untuk memperoleh pengharagaan yang sama
4. kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
5. untuk dibutuhkan oleh orang lain
6. untuk memperoleh kedudukan didalm kelompoknya
7. kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri
2.2 Prasangka dan Driskiminasi
Prasangka dan diskriminasi adalah dua hal yang ada relevan, Kedua tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan, perkembngan dan bahkan integrasi masyarakat.
Prasangka mempunyai dasar pribadi, dimana setiap orang memilikinya, sejak masih kecil unsur sifat bermusuhan sudah nampak. Melalui proses belajar dan semakin besarnya manusia, membuat sikap cenderung untuk membeda-bedakan. Kerugiannya prasangka melalui hubungan pribadi akan menjalar, bahkan melembaga (turun-menurun) sehingga tidak heran kalu prasangka ada pada mereka yang berpikirnya sederhana dan masyarakat yang tergolong cendikiawan, sarjana, pemimpin atau negarawan.
Perbedaan terpokok antara prasangka dan diskriminatif adalah bahwa prasangka menunjukkan Sikap seseorang baru diketahui bila ia sudah bertindak atau sudah bertingkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap pertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realities. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan yang relistis, sedangakn prasangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka bisa diartikan sebagai suatu sikap yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat sebelah dan dibarengi proses simplivikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap suatu relita.
Jika prasngka itu disertai agresifitas dan rasa permusuhan, semunaya tidak bias disalurkan secara wajar, biasanya orang yang bersangkutan lalu mencari objek’kambing hitam’ yaitu suatu objek untuk melmpiasakan segenap prestast dan rasa-rasa negatif, yang biasanya berwujud indivdu atau kelompok sosial.
ETHNOSENTRISME dan STEREOTYPE
Perasaan dalam dan luar kelompok merupakan dasar untuk suatu sikap yang disebut dengan ethnosentrisme. Anggota dalam lingkungan suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk menganggap segala yang termasuk dalam kebudayaan kelompok sendiri sebagai utama, baik riil, logis, sesuai dengan kodrat alam, dan sebagainya, dan segala yang berbeda dan tidak masuk ke dalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak susila, bertentangan dengan kehendak alam dan sebagainya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut disebut dengan enthosentrisme, yaitu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.
Sikap enthosentrisme ini diajarkan kepada anggota kelompok baik secara sadar maupun secara tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Sikap ini dipanggil oleh suatu anggapan bahwa kebudayaan dirinya lebih unggul dari kebudayaan lainnya. Bersama itu pula ia menyebarkan kebudayaannya, bila perlu dengan kekuatan atau paksa
Proses diatas sering dipergunakan stereotype, yaitu gambaran atau anggapan jelek. Dengan demikian dikembangkan sikap-sikap tertentu, misalnya mengejek mengdeskreditkan atau mengkambing hitamkan golongan-golongan tertentu. Stereotype diartikan sebagai tanggapan mengenai sifat-sifat dan waktu pribadi seseorang atau golongan yang bercorak nnegatif sebagai akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif.
Konsep Tentang Masalah Sosial
Secara sederhana, konsep masalah sosial seringkali dikaitkan dengan masalah yang tumbuh dan/berkembang dalam kehidupan komunitas. Apapun masalah itu jika berada dalam kehidupan suatu komunitas akan selalu dikaitkan sebagai masalah sosial. Benarkah? Jika ditinjau dari dimensi sosiologi sebagai sebuah ikmu sosial yang selama ini sering menganalisis, mensintesis dan juga memprognosis berbagai masalah sosial, pernyataan itu salah. Dalam prespektif sosiologi, tidak semua masalah yang timbuh atau berkembang dalam kehidupan suatu komunitas adalah masalah sosial. Istilah sosial ini tidaklah identik dengan komunitas, namun hanya menunjukkan bahwa masalah itu berkaitan dengan tata interaksi, interelasi dan interdepensi antar anggota komunitas. Dengan kata lain, istilah sosial dalam masalah sosial menunjukkan bahwa masalah itu berkaitan dengan prilaku masyarakat.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari teoritik, ada banyak factor penyebab terhadap tumbuh atau berkembangnya suatu masalh sosial. Secara umum, factor penyebab itu meliputi faktor structural, yaitu pola-pola hubungan antar-individu dalam kehidupan komunitas dan faktor cultural, yaitu nilai-nilai yang tumbuh atau berkembang dalam kehidupan komunitas. Adanya perubahan kedua faktor itulah, yang selama ini diteoriakan sebagai faktor penyebab utama munculnya masalah sosial. Logika teoritisnya adalah: ketika terjadi perubahan pola-pola hubungan sosial atau perubahan nilai-nilai sosial, maka sebagian anggota komunitas akan ada yang sangat siap, cukup siap dan sama sekali tidak siap dalam menerima perubahan itu. Kesiapan atau ketidaksiapan itulah yang kemudian menyebabkan perbedaan mereka dalam melakukan adaptasi dalam lingkungan sosialnya. Jika mereka yang tidak siap menerima perubahan itu justru sebagian besar (mayoritas) anggota komunitas, maka muncullah masalah sosial itu. Kata kuncinya dalam konteks ini adalah adaptasi sosial yang dilakukan individu. Berikut ini akan dikemukakan berbagai cara adaptasi terhadap lingkungan sosial yang bisa dipilih individu, ketika ia menerima perubahan baik secara kultural maupun structural, sebagaimana diteoriakan secara klasik oleh Robert K.Merton (1961).
Keterangan:
# Tanda + berarti menerima perubahan nilai-nalai dan cara-cara yang di lembagakan.
# Tanda – berarti menolak perubahan nilai-nilai dan cara-cara yang di lembagakan.
# Tanda +/- berarti menolak dan menghendaki nilai-nilai dan cara-cara baru yang di lembagakan.
Berdasarkan tabel tersebut, maka conformity berarti individu menerima perubahan nilai-nilai kultural dan menerima cara-cara yang di lembagakan. Inovasi berarti individu hanya menerima perubahan nilai-nilai kulturalnya saja. Ritualism berarti individu hanya menerima perubahan cara-cara yang di lembagakan saja. Retreatism berarti individu tidak menerima perubahan apapun. Rebellion berarti individu tidak menerima perubahan, tapi sekaligus menginginkan adanya nilai-nilai dan cara-cara baru yang di lembagakan.
Fokus analisis
Fokus-fokus analisis terhadap masalah-masalah sosial akan tergantung pada ruang lingkup dari masalah sosial itu sendiri. Artinya, dalam kenyataannya, ada masalah sosial yang ruang lingkupnya kecil, lumayan besar atau sangat besar. Oleh karena untuk menentukan apa fokus terhadap masalah-masalah sosial tersebut, lebih dulu harus dilihat beberapa indicator berikut ini:
1. Dengan melihat angka rata-rata pertumbuhan atau perkembangan dari masalah tersebut, terutama dalam kurun waktu tertentu.
2. Dengan mencermati gabungan angka rata-rata itu dalam berbagai kasus.
3. Dengan mencermati terganggunya hubungan-hubungan sosial antar lapisan, antar kelompok maupun antar golongan dalam suatu komunitas.
4. Dengan mencermati terganggunya partisipasi anggota suatu komunitas dalam suatau kegiatan sosial.
5. Dengan mencemati adanya keresahan sosial dalam suatu kominitas.
Tentu saja untuk mengetahui apakah kelima indikator tersebut menggejala atau tidak dalam suatu kominitas, harus didukung oleh data, fakta atau komunikasi empiris yang benar-benar valid dan realible. Mengapa ? karena masalah sosial adalah masalah yang benar-benar riil yang dihadapi oleh komunitas itu sendiri, dan bukan dihadapi oleh orang yang berada di luar komunitas. Karena itu dalam berbagai kasus. Fokus analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu masalah sosial dalam kelompok. Kelompok disini bisa berupa kelompok kecil (misalnya, terdiri dari kelompok se-Desa atau se-Kelurahan), kelompok agak besar (misalnya, terdiri dari komunitas se-Kabupaten atau se-Kota), kelompok besar (misalnya, terdiri dari dari masyarakat se-Bangsa atau se-Negara). Namun apapun kriteria dari besar atau kecilnya kelompok tersebut, semua akan tergantung kepada sejauh mana ikatan nilai-nilai dan norma-norma sosial masih menjadi acuan dari kelompok tersebut dan apakah nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut masih digunakan secara efektif oleh kelompok sebagai instrument pengendali dalam kehidupan komunitasnya.
INTEGRASI MASYARAKAT SOSIAL
Integrasi Masyarakat dan Nasional, Integrasi masyarakat dapat diartikan adanya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga-lembaga dan masyarakat secara keseluruhan. Sehingga menghasilkan persenyawaan-persenyawaan, berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama dijunjung tinggi.
Dalam hal ini terjadi kerja sama, akomodasi, asimilasi dan berkuranmgnya sikap-sikap prasangka di antara anggota msyarakat secara keseluruhan. Integrasi masyarakat akan terwujud apabila mampu mengendalikan prasangka yang ada di dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi konflik, dominasi, mengdeskriditkan pihak-pihak lainnya dan tidak banyak sistem yang tidak saling melengkapi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan. Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi bangsa pada bangsa yang majemuk dilakukan dengan mengatasi atau mengurangi prasangka
Perlu dicari beberapa bentuk akomodatif yang dapat mengurangi konflik sebagai akibat dari prasangka, yaitu melalui empat sistem, diantaranya ialah :
1.Sistem budaya seperti nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
2.Sistem sosial seperti kolektiva-kolektiva sosial dalam segala bidang.
3. sistem kepribadian yang terwujud sebagai pola-pola penglihatan (persepsi), perasaan (cathexis), pola-pola penilaian yang dianggap pola-pola keindonesiaan, dan
4. Sistem Organik jasmaniah, di mana nasionalime tidak didasarkan atas persamaan ras. Untuk mengurangi prasangka, keempat sistem itu harus dibina, dikembangkan dan memperkuatnya sehingga perwujudan nasionalisme Indonesia dapat tercapai.
-studi kasus:
Suatu hari, saat menunggu mobil direparasi, saya duduk di Starbuck’s di samping seorang ibu yang tengah asyik bercerita mengenai "rahasia kecurangan kecil dalam mengasuh anak." Dirinya dan suami, masing-masing mempunyai "anak favorit" sendiri.
Ia pribadi lebih cocok dengan anak bungsunya sementara suaminya merasa lebih cocok dengan anak sulung mereka. Saya percaya hal tersebut terjadi secara alamiah dan umum, tetapi kebanyakan orang tua malu untuk mengakuinya.
Sebenarnya hal memalukan adalah apabila tindakan orang tua menunjukkan sifat pilih kasih yang berlebihan. Saya adalah orang yang sangat percaya bahwa tindakan akan ’berbicara’ lebih banyak daripada kata-kata yang kita ucapkan, meskipun saya tahu, banyak agama mempercayai apa yang ada dalam hati seseorang merupakan hal yang utama.
Saya betul-betul tidak setuju dengan filosofi tersebut dan percaya bahwa apa yang ada di dalam hati atau pikiran kita baru akan terwujud jika kita mengimplementasikannya. Kita bahkan kadang-kadang sampai berpikir untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Saat itu bila kita melihat ke dalam dan bisa menahan diri, itu berarti kita sedang bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Orang tua bukan manusia jika mereka tidak merasakan ’ikatan’ terhadap anak yang lebih mencerminkan diri mereka sendiri, kepribadian mereka, kesukaan mereka, dan ketidaksukaan mereka. Dengan cara yang sama, orang tua mungkin menyukai salah satu anak atau anak lainnya di saat yang berbeda dalam kehidupan mereka, berkaitan dengan perilaku, minat, dan watak. Dan melihat kenyataan, kita semua tahu keturunan tidak berarti kloning, karena setiap anak dapat menjadi sosok yang sangat berbeda pada wajah dan kepribadian.
Putra-putra saya memiliki karakter yang sangat berbeda. Putra sulung merupakan pencerminan diri saya bahkan bisa dikatakan dalam segalanya, sementara adiknya lebih mirip ibunya. Meskipun demikian, ketika saya melihat perbedaan ini dan adakalanya merasa frustasi karenanya, saya hanya menyimpannya dalam hati dan berusaha untuk tidak pilih kasih.
Sayangnya, ibu mereka (sekarang mantan istri saya) meniru tindakan buruk keluarganya yang pilih kasih dan lebih menyayangi putra bungsu kami. Hal ini menjadi makin buruk selama perpisahan dan perceraian kami, yang menimbulkan masalah-masalah yang berbeda tetapi sama-sama menyulitkan anak-anak dan perasaan mereka akan keamanan, keselamatan, dan kasih sayang orangtua. Anak sulung menyikapi dengan marah, sementara si bungsu memilih cara yang lebih menyenangkan.
Saya benar-benar harus bekerja ekstra untuk mengatasi dampak ulah istri saya. Saya menanyakan tentang hukuman-hukuman, setiap hak-hak istimewa yang diperbolehkan, dan pilihan-pilihan lain bagi orang tua dengan menganalisanya ibarat seorang hakim, menimbang porsi mana yang lebih berat antara pro dan kontra.
Sesungguhnya, saya tahu ada saat-saat dimana saya ’tergelincir’ dengan menghukum seorang anak terlalu berat dan membiarkan anak yang lain lolos dengan mudah.
Saya mendiskusikan hal ini dengan Ibu di Starbucks itu dan ia setuju bahwa upaya terbaik kami dengan memberi kompensasi dan tidak pilih kasih itu mungkin bukan apa yang anak-anak alami. Ini seperti peraturan pelecehan seksual bodoh dimana persepsi "pelecehan" adalah faktor tunggal yang menjadi penentu kesalahan. Hal yang sama di mana anak-anak kita mungkin benar, pandangan mereka terhadap tingkah laku kita dan kemungkinan pilih kasih.
Dalam hal ini, saya harus berpihak menurut pandangan anak dan menaruh ekstra waspada pada masalah orang tua. Jika David merasa saya lebih menyayangi kakaknya, saya harus berupaya mencari dan meneliti perilaku saya dan bukan hanya bersikap defensif. Saya percaya pandangan anak-anak harus dipertimbangkan lebih serius meski orang tua bukan bermaksud seperti yang mereka kira.
Tidak masalah. Saya harus berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkannya bahwa dia berada pada status yang sama dengan saudaranya. Saya tahu saya memang menyayanginya, tetapi itu tidak cukup. Seperti yang disinggung sebelumnya, yang terpenting adalah tindakan nyata kita.
Jelas sekali, hal yang sama juga terjadi dari sisi sebaliknya. Seringkali seorang anak secara alamiah akan lebih menyukai salah satu dari orang tua mereka sehubungan dengan perlakuan yang mereka terima dalam disiplin, bermain dan bercengkrama, waktu kebersamaan, dan kemiripan. Inilah mengapa ada stereotip ’orang tua di akhir pekan’ yang menjadi "orang baik" dengan hanya mengajak anak-anak pada saat-saat tertentu, membelikan mereka sesuatu, atau ia selalu menuruti segala permintaan anaknya.
Ini adalah situasi yang menyedihkan jika terjadi, tetapi saya percaya ini adalah kewajiban utama dari orangtua untuk mengendalikan diri agar tetap berada dalam jalur dan menjaga standar perilaku dan aturan. Ingatlah, sebagian besar anak-anak akhirnya akan mengetahui perbedaannya, antara orang tua "yang sekedar ingin menyenangkan" dan orang tua yang "sesungguhnya", yang hadir setiap saat - hujan maupun terik, sakit maupun sehat, saat menyenangkan maupun bermasalah. Ya, itulah yang dinamakan orang tua. http://erabaru.net/kehidupan/54-keluarga/10912-hindari-pilih-kasih-dalam-keluarga
-opini:
studi kasus diatas merupakan sebuah diskriminasi dapat merusak mental anak, setiap anak mempunyai harga diri. jika terjadi diskriminasi pada seseorang, maka harga diri seseorang tersebut akan hilang, apalgi itu terjadi di dalam keluarga, dimana orang yang bertanggung jawab pertama klai pada perilaku anak, bisa saja anak tersebut akan membenci orang tuanya sendiri jika diskriminasi tersebut tidak segera di hilangkan.
Diposting oleh Emellika Rahmayana di 05.09 0 komentar
Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan
1. Menyebutkan 2 tipe Masyarakat
-teori:
Diskusi hukum secara sosiologis dalam masyarakat umumnya didasarkan pada salah satu dari dua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat, yaitu pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) dan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif).
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) menggambarkan masyarakat yang terintegrasi secara fungsional dan relatif memiliki sistem yang stabil. Sistem tersebut diadakan dan dibuat secara bersama dan didasarkan pada suatu kesepakatan atau konsensus dasar atas nilai-nilai. Ketertiban sosial (social order) merupakan hal yang relatif permanen dan para individu dapat meraih kepentingan-kepentingan mereka melalui kerjasama.
Pandangan ini memandang konflik sosial sebagai upaya perjuangan tidak diperlukan bagi para individu dan kelompok yang belum memperoleh pemahaman yang cukup tentang kepentingan bersama dan saling ketergantungan secara mendasar.
Pandangan ini justeru menekankan pada rasa kepaduan (cohesion), rasa solidaritas, rasa kesatuan (integration), sikap kerjasama (cooperation) dan stabilitas masyarakat, yang dilihat sebagai budaya berbagi dan kesepakatan pada nilai-nilai dan norma-norma yang fundamental.
Sedangkan pandangan konflik paksaan (conflict-coercion perspektif) bertolak belakang dengan pandangan konsensus integrasi (integration-consensus). Pandangan ini mencirikan masyarakat yang terdiri dari para individu dan kelompok ini dengan munculnya konflik dan perbedaan yang diadakan bersama secara paksaan.
Dalam pandangan ini, ketertiban merupakan ketidakstabilan dan hanya bersifat sementara (temporary). Hal ini disebabkan karena setiap individu-individu dan kelompok-kelompok berupaya untuk memaksimalkan pencapaian kepentingannya masing-masing dalam dunia yang memiliki keterbatasan sumber daya dan berbagai jenis barang.
Pandangan ini juga memandang konflik sosial (social conflict) sebagai tindakan intrinsik terhadap interaksi antara para individu dan kelompok. Selanjutnya dalam pandangan ini, untuk mempertahankan dan memelihara kekuasaan diperlukan dorongan (inducement) dan paksaan (coersion). Oleh karenanya, hukum merupakan alat penekan/represif (instrument of repression) sehingga kepentingan-kepentingan kekuasaan mampu dipertahankan sebagai alternatif kepentingan-kepentingan, norma-norma dan nilai-nilai.
Hal pokok terkait kedua pandangan konsepsi ideal tentang masyarakat diatas, menurut pendapat Ralf Dahrendorf adalah bahwa tidak mungkin dalam kenyataan (empirical) memilih salah satu dari dua pandangan tersebut, baik stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan disfungsi, konsensus dan pembatasan, keseluruhannya hanyalah imajinasi dari suatu masyarakat (1958: 174-175). Maka pada saat hukum dipandang dari salah satu pandangan diatas, tidaklah mengherankan, memunculkan peranan hukum yang berbeda.
PANDANGAN KONSENSUS INTEGRASI
(Integration-Consensus Perspective)
Pandangan konsensus integrasi (integration-consensus) ini melihat hukum sebagai suatu kerangka kerja yang netral (a neutral framework) untuk mempertahankan dan memelihara integrasi masyarakat. Salah satu sarjana terkemuka dan paling berpengaruh adalah Roscoe Pound (1943-1959). Menurut Pound, masyarakat sebagai keragaman kelompok yang kepentingan-kepentingannya seringkali bertentangan satu sama lain, tetapi pada dasarnya berjalan secara harmonis.
Roscoe Pound memandang berbagai kepentingan merupakan unsur pokok bagi keberadaan masyarakat dan mempertahankan bahwa rekonsiliasi antara kepentingan yang bertentangan dari keberagaman kelompok dalam masyarakat adalah penting untuk melindungi dan memelihara ketertiban sosial (social order).
Dengan kata lain menurut pendapat Pound, hukum adalah upaya untuk meraih kepuasan, rekonsiliasi, harmonisasi, penyesuaian terhadap berbagai pertentangan tuntutan dan permintaan, bahkan memberikan perlindungan secara langsung dan segera, atau memberikan jaminan perlindungan atas berbagai kepentingan individu, sehingga memberikan dampak luas bagi kepentingan warga masyarakat dengan pengorbanan yang minimal pada berbagai kepentingan tersebut secara keseluruhan. (Pound, 1943: 39)
Dalam pandangan Pound, hukum dalam masyarakat yang heteronom dan pluralistik, sebagaimana di Amerika Serikat, memerlukan pemahaman yang baik sebagai upaya kompromi masyarakat dengan menekankan pada ketertiban sosial dan harmonisasi. Pound memberikan argumentasi bahwa dalam sejarah pembangunan hukum telah menunjukkan suatu pengakuan terhadap pertumbuhan dan kepuasan kebutuhan manusia, tuntutan dan keinginan melalui hukum.
Pada masa lampau, hukum lebih memusatkan perhatiannya dengan memenuhi berbagai spektrum kebutuhan manusia. Hukum benar-benar mewujudkan keinginan masyarakat dan mendatangkan kepuasan bagi kebutuhan masyarakat (Pound, 1959: 47).
Selanjutnya, Roscoe Pound juga memandang hukum sebagai bentuk “perubahan sosial” (social engineering) yang diarahkan untuk mewujudkan keharmonisan masyarakat. Pound berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mempertahankan dan memastikan esensi nilai-nilai dan kebutuhan terhadap ketertiban sosial (social order), tidak dengan memaksa keinginan suatu kelompok kepada kelompok lainnya, akan tetapi dengan melakukan pengawasan (controlling), rekonsiliasi dan mediasi terhadap keberagaman dan pertentangan kepentingan antara para individu dan kelompok masyarakat. Singkatnya, tujuan hukum adalah untuk mengawasi berbagai kepentingan dan mempertahankan atau memelihara keharmonisan dan integrasi masyarakat.
Talcott Parsons (1962: 58) berpendapat bahwa “...fungsi utama sistem hukum adalah integritas. Untuk menyederhanakan pertentangan elemen-elemen yang berpotesi dan untuk memudahkan metode-metode atau alat-alat komunikasi sosial.
Sosiolog lainnya adalah Harry C. Bredemeier (1962) yang menerima pandangan ini dan meyakini bahwa perlunya masyarakat untuk menambah mekanisme informal dengan mekanisme formal dalam mewujudkan dan menciptakan kerjasama antar individu. Hukum sebagai suatu badan peraturan perundang-undangan (body of rules) yang dibentuk oleh perwakilan dari masyarakat untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat itu sendiri.
Hukum pada pokoknya merupakan lembaga netral (a neutral agent), menyediakan penghargaan (rewards) dan hukuman (punishment) tanpa penyimpangan. Asumsi dasar pandangan ini ialah bahwa sistem politik adalah pluralistik; yang tersusun atas beberapa kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan yang seimbang.
Hukum merefleksikan kompromi dan konsensus antara beragamnya kepentingan kelompok-kelompok dan nilai-nilai fundamental demi terwujudnya ketertiban sosial (Chambliss, 1976 : 4).
PANDANGAN KONFLIK PAKSAAN
(Conflict-Coercion Perspective)
Berbeda dengan pandangan Konsensus Integrasi, pandangan Konsensus Konflik melihat hukum sebagai “senjata dalam konflik sosial” (Turk 1978) dan sebagai suatu instrumen tekanan ”yang dipimpin oleh kelompok yang sedang berkuasa demi kepentingan mereka” (Chambliss dan Seidman, 1982:36).
Menurut pandangan ini, transformasi masyarakat yang kecil, relatif homogen menjadi jaringan kelompok dengan kekhususannya merupakan evolusi dari kedua keinginan dan kepentingan antar kelompok. Jika terjadi konflik, mereka bersaing agar kepentingannya dilindungi dan dituangkan secara formal dalam bentuk undang-undang (hukum).
Richard Quinney menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu alat pengontrol dari kepentingan-kepentingan yang ada melainkan sebagai ekspresi dari berbagai kepentingan tersebut. Pertama, Quinney berpendapat bahwa masyarakat dibentuk oleh keragaman, konflik, paksaan, dan perubahan, bukan dibentuk oleh konsensus dan stabilitas.
Kedua, hukum adalah hasil dari pelaksanaan kepentingan-kepentingan yang berfungsi diluar kepentingan tertentu. Meskipun hukum dapat mengontrol kepentingan, namun hukum sejak awal diciptakan oleh kepentingan orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu; tidak jarang merupakan produk dari seluruh masyarakat. Hukum dibuat oleh manusia, mewakili kepentingan khusus, yang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan kepentingan mereka ke dalam kebijakan publik. Tidak sama seperti konsepsi politik yang plural, hukum tidak mewakili kompromi dari kepentingan masyarakat yang beragam, akan tetapi mendukung beberapa kepentingan lainnya (1970:35).
Pendukung Pandangan Konflik-Paksaan meyakini hukum sebagai alat dimana penguasa menjalankan kontrolnya. Hukum melindungi pemilik kekuasaan dan juga untuk menekan ancaman politik terhadap posisi elit.
Namun para advokat memiliki pandangan sebaliknya. Tidak semua hukum itu diciptakan dan dilaksanakan demi keuntungan para penguasa semata dimasyarakat. Hukum melarang pembunuhan, perampokan, kerusuhan, hubungan sedarah (incest), dan penyerangan. Dimana kesemuanya ini menguntungkan seluruh anggota masyarakat, terlepas dari posisi ekonomi mereka. Sehingga hukum itu sebenarnya lebih luas daripada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa penguasa mendikte isi hukum dan penegakannya hanya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.
Kedua pandangan tersebut mengandung kebenaran. Hukum dapat merefleksikan kepentingan tertentu dari pihak penguasa dan pihak yang memiliki pengaruh di masyarakat.http://www.blogster.com/khaerulhtanjung/tipe-tipe-masyarakat-model
2. Menyebutkan ciri -ciri Masyarakat Kota
- Teori :
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :
i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
3. Menyebutkan Perbedaan antara desa dan kota.
- Teori :
Masyarakat Pedesaan :
1.Perilaku homogen
2.Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3.Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
4.Isolasi sosial, sehingga statik
5.Kesatuan dan keutuhan kultural
6.Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7.Kolektivisme
Masyarakat kota
1.Perilaku heterogen
2.Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3.Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4.Mobilitas sosial, sehingga dinamik
5.Kebauran dan diversifikasi kultural
6.Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular
7. Individualisme
aisriska.files.wordpress.com/2007/02/makalah-isd-finish.doc - Mirip
-studi kasus :
Angka urbanisasi di Kota Bogor mencapai 8,8% dari jumlah penduduk yang kini hampir mencapai 1 Juta penduduk. Kondisi ini menyebabkan permasalahan terutama soal pengangguran dan kemiskinan. Hal ini diakui Walikota Bogor, Diani Budiarto, dalam Briefing Staff di Ruang Rapat III Balaikota yang dihadiri pimpinan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) dilingkungan Pemkot Bogor Selasa, (20/4/2010)
Sebenarnya, kata Diani, istilah urbanisasi bisa disebut proses menjadi kota, yang bisa berarti daerah pedesaan yang berkembang pada akhirnya menunjukkan ciri-ciri kota.
Menurut Diani, urbanisasi juga bisa diartikan sebagai proses yang dialami manusia dari kehidupan agraris pedesaan menuju kehidupan industri perkotaan, Tetapi rupanya istilah urbanisasi sudah banyak dimengerti masyarakat sebagai proses berpindahnya masyarakat dari desa ke kota atau bisa disebut dengan rural to urban migration, ungkapnya.
Diakuinya, besarnya angka urbanisasi menjadi kendala dalam kependudukan. Pasalnya tidak semua pendatang adalah calon warga produktif dan bisa saja malah menjadi beban bagi Pemerintahan Kota Bogor. Hal ini disebabkan sebagian besar kaum urban adalah tenaga tak terdidik yang biasanya menjadi buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim atau bahkan menganggur sama sekali. Akibatnya, mereka hanya mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Menyikapi masalah pengangguran, Diani Budiarto menyebutkan disamping urbanisasi terdapat tiga faktor yang menyebabkan permasalahan yang terus berkepanjangan.
“Pertama, pasar kerja yang tidak sesuai dengan pencari kerja. Kedua, tersedianya lapangan kerja yang sesuai potensi tapi tidak sesuai dengan minat pencari kerja. terakhir, tidak terdapatnya lapangan kerja karena keterbatasan potensi pencari kerja,” urai Diani Budiarto.
Namun, lanjutnya, urbanisasi bukannya tidak memiliki dampak positif. Beberapa faktor dapat ikut terdorong peningkatannya lewat pergerakan penduduk ini, antara lain meningkatnya aktifitas perekonomian kota. Kota bertambah ramai, perdagangan semakin meningkat sehingga kehidupan di kota semakin berkembang dengan banyaknya pendatang-pendatang baru dari luar kota.
Walikota Diani Budiarto mengatakan, persoalan urbanisasi merupakan masalah bersama. Beberapa dampak positif, khususnya dalam konteks ekonomi dapat terus dioptimalisasikan. Namun, dampak-dampak negatif yang muncul sudah semestinya menjadi perhatian serius. Apalagi, jika menyangkut masalah pengangguran dan kaum miskin kota. Makanya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih responsif dalam menangani masalah ini tanpa diskriminasi. (diki)
http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5752&Itemid=101
-opini :
inilah salah satu banyaknya pengangguran, penduduk desa yang yang tergiur pergi ke kota, padahal mereka tudak tau bagaimana kehidupan di kota terutama ciri - ciri dari penduduknya, mereka yang tidak bisa beradaptsi sebagaimana kehidupan mereka di pedesaan terpuruk pada pengangguran.
Diposting oleh Emellika Rahmayana di 04.52 0 komentar
Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat
1. Mahasiswa dapat menyebutkan perbedaan sistem pelapisan dalam masyarakat.
-Teori :
Adanya system lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu. Tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang bisa menjadi alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah pekandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, Dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu. Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Pada masyarakat yang hidupnya dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Pada masyarakat yang hidupnya berburuh hewan alasan utama adalah kepandaian berburuh. Sedangkan pada masyarakat yang telah menetap Dan bercocok tanam, maka kerabat membuka tanah (yang dianggap asli) dianggap sebagai orang yang menduduki lapisan tertinggi. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Batak, dimana marga tanah yaitu marga yang pertama-tama membuka tanah dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi. Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan hidup, kelompok-kelompok sosial halnya tidaklah demikian. Perbedaan pada lapisan merupakan bagian dari system sosial setiap masyarakat untuk meneliti terjadinya proses-proses lapisan masyarakat, dapatlah pokok-pokok berikut dijadikan pedoman :
1. Sistem lapisan mungkin berpokok pada system pertentangan dalam masyarakat. System demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat-masyarakat terntentu yang menjadi objek penyelidikan.
1. System lapisan dapat dianalisis dalam ruang lingkup.
2. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan
3. Solidaritas diantara individu-individu atau kelompok-kelompok yang menduduki kedudukan yang sama dalam system masyarakat.
Seperti telah diuraikan diatas ada pula system lapisan yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal itu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan Dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan. Kekauasaan Dan wewenang merupakan unsure khusus dalanm system lapisan khusus, sehingga jelas bagi setiap orang ditempat mana letaknya kekuasaan Dan wewenang dalam organisasi, secara vertical Dan horizontal. Apabila kekuasaan Dan wewenang tidak dibagi secara teratur, maka kemungkinan besar sekali akan terjai pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat. Perihal system lapisan masyarakat disusun Dan akan dibicarakan pada pembahasan berikut
2. Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa teori tentang pelapisan sosial.
-studi kasus :
Di India, Nyawa Bisa Melayang Karena Beda Kasta
Meski sudah memasuki era modern, namun budaya Kasta di India tetap dipakai. Kekerasan pun kerap terjadi, dan wanita lebih banyak jadi korban.
Polisi India memeriksa wanita yang tewas dibunuh. Asha Saini, 19 tahun, dan Yogesh Kumar, 20 tahun, saling jatuh cinta. Mereka rencananya akan segera menikah. Tapi, keluarga Saini tidak setuju karena calon suami hanya seorang sopir taksi. Pihak keluarga menilai, pekerjaan sejenis itu tak pantas buat keluarga mereka. Namun, sebenarnya penolakan itu lantaran Kumar berasal dari kalangan kasta rendah.
Namun, Saini tetap bersikeras untuk menjalin cinta dengan Kumar. Upaya memisahkan keduanya pun dilakukan pihak keluarga Saini. Gadis itu dipaksa untuk dinikahkan dengan pria lain.
Upaya itu ternyata tak berhasil. Cinta sudah begitu menyatu di kedua remaja itu. Akhirnya pilihan tragis dipilih keluarga Saini. Keduanya dibunuh. “Kami membunuh mereka berdua karena kami menentang hubungan itu. Jika seseorang datang ke rumah anda untuk bertemu anak perempuan anda, apa lagi yang harus kami lakukan?” kata paman Saini yang bernama Om Prakash, saat dia dan ayah kandung Saini, ditahan pihak kepolisian India.
Saini dan Kumar menjadi salah satu korban di antara lima kasus yang sama di India pada Juni 2010 lalu. Mereka dibunuh karena dianggap menodai kehormatan keluarga. Umumnya yang menjadi korban adalah anak perempuan, yang dianggap seharusnya menjaga kehormatan keluarga.
Pihak kepolisian mengatakan, pihak keluarga sebelumnya sudah mencoba cara untuk memisahkan Saini dan Kumar, namun tak berhasil.
Polisi menetapkan paman dan ayah Saini sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan. Tetangga Saini mengaku mendengar jeritan keras pada malam hari, sebelum akhirnya polisi datang dan menemukan Saini dan Kumar tewas.
“Tongkat kayu berukuran besar digunakan untuk menghabisi keduanya. Gadis itu menjerit, dan mengatakan”Bunuh saya tapi jangan bunuh Kumar,” kata Umesh Kumar menirukan kata-kata terakhir Saini. Umesh adalah tetangga keluarga Saini. “Mereka memukul Saini dengan sangat kejam, dan darah keluar dari kepala Saini.”
Kumar mengatakan, dirinya mencoba untuk menolong gadis malang itu, dengan cara menelpon polisi, namun pesawat telpon miliknya rusak. Tetangga lain tak berani meminjamkan telpon karena tak ingin ikut campur.
“Itu bukan urusan kami. Anak gadis itu memang seharusnya patuh pada orang tua,” kata salah satu tetangga keluarga Saini, yang tak mau disebut namanya.
“Yang paling memprihatinkan dari setiap kasus pembunuhan semacam ini, pembunuhnya adalah mereka yang memiliki hubungan keluarga,” kata Wakil Deputi Komisioner Polisi Narendra Bundela.
Di India, kasus pembunuhan dengan mengatasnamakan “Pembunuhan demi kehormatan keluarga” tidak hanya terjadi di pedesaan, tapi juga di kota besar seperti New Delhi.
Masih belum terdata dengan jelas, berapa banyak kasus pembunuhan semacam itu. Namun pihak pemerintah, pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung India berusaha mencari jalan keluar agar kasus pembunuhan sadis semacam itu dapat diredam.
Akibat maraknya kasus pembunuhan atas nama kehormatan itu, anggota kabinet India mengadakan pertemuan untuk membahasnya. Hasilnya, pihak pemerintah akan mengubah hukuman ringan menjadi lebih berat kepada pelaku pembunuhan semacam itu. Sebelumnya, sudah banyak didapati, hukuman bagi pelaku pembunuhan demi kehormatan itu, lebih ringan bahkan lepas dari jeratan hukum, sehingga menyebabkan masih tingginya kasus pembunuhan sejenis itu.
Dr. Ranjana Kumari, Kepala Pusat penelitian Sosial India mengatakan, kasus-kasus pembunuhan seperti yang dialami Saini dan Kumar merupakan contoh ekstrem dari benturan budaya modern dan tradisi kuno India.
“Kehormatan keluarga, biasanya secara tradisional ada pada anak perempuan. Dan ketika anak perempuan tak patuh, maka dianggap menodai kehormatan keluarga,” kata Ranjana.
“Itulah beban berat yang ditanggung anak perempuan di India. Termasuk apa dan bagaimana mereka memakai pakaian, sekolah di mana, di mana mereka tinggal, menikah, semuanya harus menunggu keputusan keluarga,” tambah Ranjana.
Renu, 27 tahun, kakak perempuan Kumar, mengatakan dia dan adiknya tinggal menumpang di rumah kerabat, setelah orangtua mereka meninggal beberapa tahun lalu. “Saya kehilangan segalanya. Saya sebatang kara sekarang,” kata Renu sambil menangis terisak. Dia menambahkan, dirinya begitu dekat dengan Kumar.
“Rasa duka ini akan ada seumur hidup saya. Saya ingin keadilan. Apa yang terjadi pada adik saya juga harus dirasakan para pelaku pembunuhan itu. Mereka harus dihukum gantung,” ujar Renu.
Seperti dimuat di National Geographic, ratusan, mungkin ribuan, wanita di India menjadi korban pembunuhan seperti yang dialami Saini. Banyak kasus yang tak dilaporkan, dan para pelakunya tak pernah tersentuh hukum.
( sumber : http://toentas.com/?p=945 )
-opini :
pada faktany masyarakat itu memanglah berlapis, tapi itu tidak di mata Allah hanya tingkat ke imanan yang dapat membedakan, oleh karena itu janganlah memebedakan seseorang hanya dengan status sosialnya saja.
Diposting oleh Emellika Rahmayana di 04.44 0 komentar